“Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi
dan kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfaal: 73)
Bencana demi bencana datang silih berganti menyapa kita. Mulai dari
banjir yang menerjang beberapa kota, kecelakaan transportasi darat,
laut sampai udara dan beberapa musibah lain, seperti angin puting
beliung, gempa dan tanah longsor, belum lagi musibah karena penyakit
Demam berdarah, diare, busung lapar dsb. Astaghfirullah, hati
manusia mana yang acuh melihat keadaan seperti itu?! Deraian airmata
atau isak tangis entah karena kehilangan sanak saudara atau kehilangan
harta benda atau karena penyakit yang sedang diderita. Dan keadaan
seperti itu sangatlah berat jika dirasakan khususnya bagi wanita yang
mempunyai beberapa peran, wanita sebagai ibu atau sebagai istri. Wanita
yang mempunyai hati selembut kapas, penuh simpati, mudah terbawa
suasana, dan mudah pula rapuh hatinya.
Siapa yang tak kenal hati wanita?! Wanita adalah sesosok manusia
yang dianugerahi dengan perasaan yang halus. Selembut-lembutnya hati
seorang laki-laki masih lembut hati seorang wanita yang paling tegar
sekalipun. Betapa hatinya bagaikan gelas-gelas kaca, sekali pecah
hancur sampai berkeping-keping. Perasaan seperti itu sangat rentan
terhadap kekecewaan dan kesedihan. Biasanya wanita mengekspresikan
perasaan tersebut dengan menangis, entah menangis secara
sembunyi-sembunyi ataupun menangis secara berlebihan, yaitu dengan
menampak-nampakkan kepada setiap orang untuk menunjukkan betapa
sedihnya ia. Namun jika tangisan tersebut berlebihan hingga mengeraskan
suara dan seakan-akan menunjukkan kekecewaan atas Qadha’ dan Qadhar
Allah Subhanu Wata’alla ini yang tidak boleh, Allah menguji manusia
dengan batas kemampuan masing-masing manusia:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh: 286)
“Dari Abu Musa, Abdullah bin Qais radhiyallahu’anhu bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari wanita yang
meratap ketika ditimpa musibah, mencukur rambut dan merobek-robek saku
baju.”
Menangislah sewajarnya jika memang dengan menangis hati kita lebih
lega, karena menangis adalah ciri seorang wanita. Menangis tidak
selamanya termasuk bagian orang yang lemah dan tidak tegar, misalnya
para shahabat seperti umar bin khaththab radhiyallahu’anhu
pernah menangis jika mengingat keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sehingga menempatkan waktu yang sesuai untuk menangis itu yang terbaik.
Musibah silih berganti, laksana bergantinya siang dan malam, hati yang
kuatlah yang diperlukan untuk menepis kesedihan-kesedihan yang
melanda. Dan hati yang kuat hanya ada bersama dengan iman yang kuat,
rasa pasrah terhadap segala takdir-Nya.
Saudariku, mungkin diantara kita saat ini ada yang sedang mengalami
musibah tersebut, mungkin keluarga kita atau handai taulan kita. Maka
jadilah orang yang kuat dan dapat menguatkan orang di sekitar kita,
serahkanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta katakanlah “Innalillahi wa inna ilahi roji’un”
“sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali.”
Hal tersebut akan lebih baik untuk kita lakukan, dan telah
dicontohkan oleh para salaf ketika mereka ditimpa musibah.
Dan janganlah menangis berlebihan bahkan hingga disertai menyakiti
diri sendiri seperti memukul-mukul pipi sendiri atau mengatakan
kata-kata yang kasar yang menunjukan rasa tidak suka dan tidak sabar
atas musibah dan cobaan tersebut atau malah menyalah-nyalahkan kehendak
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan ada yang keterlaluan sampai
mengakhiri hidupnya (bunuh diri), ia meyakini dapat menyudahi
kesempitan yang sedang dialaminya di dunia akan tetapi sebenarnya malah
membuka kesempitan yang lain yang justru ia tidak bisa berbuat apa-apa
lagi setelah itu, laksana beralih dari pasir yang panas ke dalam bara
api. Na’udzubillahi min dzalik. Mereka berpikir bahwa
kematian dapat mengakhiri apa yang mereka tidak sukai, menghindar dari
masalah, dan bersikap sebagaimana pengecut. Namun sebenarnya ia akan
dihadapkan masalah yang lebih berat dan ia takkan mungkin bisa bunuh
diri lagi untuk melarikan diri. Ternyata pikiran sempit mereka dapat
menyulitkan mereka sendiri bahkan kesulitan yang paling sulit.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu dari Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan
kami orang yang menampari pipi, merobek-robek saku dan berseru-seru
dengan seruan jahiliyyah.” (Muttafaqun ilaihi)
Saudariku di setiap perjalanan hidup kita tak lekang dari musibah dan
cobaan, baik dengan kehilangan orang yang kita sayangi, kehilangan
harta yang telah kita kumpulkan, atau penyakit yang telah kita derita.
Sebagai mukmin yang cerdas hendaknya kita mengambil kesempatan untuk
meraup pahala dari setiap kesulitan yang sedang kita hadapi. Dan
hendaknya kita bisa memetik hikmah di setiap musibah dan cobaan. Wallohu a’lam bishowab.
sumber : http://www.suaramedia.com/artikel/kumpulan-artikel/30832-yakinlah-cobaan-dari-allah-sesuai-dengan-kemampuan-kita.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar